Wacana legalisasi sabung ayam atau tajen kembali mencuat di Bali, memicu perdebatan hangat di kalangan masyarakat, tokoh adat, hingga pejabat pemerintah.
Gubernur Bali, Wayan Koster, menyatakan penolakan tegas terhadap legalisasi praktik tajen, meski sebagian pihak menilai sabung ayam adalah bagian dari budaya yang perlu dilestarikan. Kontroversi ini menggambarkan tarik-ulur antara pelestarian budaya lokal dengan tanggung jawab hukum dan sosial yang lebih luas. Lalu, ke mana seharusnya arah kebijakan ini diarahkan?
Berikut ini Info Kejadian Bali akan membahas penolakan Gubernur Bali terhadap wacana legalisasi sabung ayam serta berbagai pandangan terkait praktik tajen sebagai bagian dari budaya Bali.
Wayan Koster Tegas Tolak Legalisasi Tajen
Dalam sebuah pernyataan singkat namun penuh makna, Gubernur Bali Wayan Koster menegaskan penolakannya terhadap wacana legalisasi tajen. Saat ditemui dalam rangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) 2025 di Taman Budaya, Art Center, Denpasar, Koster hanya mengucap satu kata, “Jangan,” saat dimintai pendapat soal wacana tersebut.
Menurut Koster, praktik tajen bukan sekadar urusan legal atau ilegal, melainkan persoalan kompleks yang berkaitan dengan nilai hukum, etika, dan potensi dampaknya terhadap masyarakat Bali. Ia menambahkan bahwa segala wacana legalisasi harus melalui kajian mendalam terlebih dahulu. “Harus dikaji dulu itu,” ujarnya singkat.
Pernyataan ini sekaligus menjadi sinyal bahwa Pemerintah Provinsi Bali tidak ingin terburu-buru dalam menyikapi desakan legalisasi yang belakangan gencar disuarakan oleh beberapa tokoh politik lokal.
Ajus Linggih Sebut Tajen Budaya Bali
Di sisi lain, Anggota DPRD Bali dari Fraksi Golkar, Agung Bagus Pratiksa Linggih alias Ajus Linggih, justru berada di kubu yang berseberangan. Ia menyuarakan dukungan terhadap legalisasi tajen dengan dalih pelestarian budaya.
Menurut Ajus, tajen sudah sejak lama menjadi bagian dari upacara adat masyarakat Bali, terutama dalam konteks punia atau persembahan saat upacara keagamaan. Ia menyebut praktik ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Bali.
“Karena banyak yang metoh tajen itu kan untuk punia juga, ke kebutuhan upacara,” ujar Ajus saat ditemui di Buleleng. Ia menilai selama ini tajen berada di wilayah abu-abu hukum, yang akhirnya kerap disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan pribadi, termasuk perjudian terselubung.
Baca Juga:
Antara Tradisi dan Perjudian
Salah satu dilema utama dari legalisasi tajen adalah tipisnya batas antara pelestarian budaya dan praktik perjudian. Tajen sejatinya merupakan ritual yang dilakukan dalam konteks spiritual dan sosial, namun dalam praktiknya, banyak yang menyalahgunakan momen tersebut untuk melakukan taruhan yang melibatkan uang dalam jumlah besar.
Inilah yang kemudian menjadi kekhawatiran utama dari berbagai elemen masyarakat. Legalisasi yang tidak diikuti dengan pengawasan ketat justru berpotensi melegitimasi perjudian atas nama budaya.
Kelompok masyarakat sipil dan aktivis perlindungan sosial pun mengkhawatirkan dampak buruknya bagi generasi muda. Selain potensi meningkatnya angka kriminalitas, tajen yang dilegalkan bisa menjadi celah masuknya praktik ekonomi ilegal yang lebih luas.
Perlukah Regulasi Khusus?
Meski Gubernur Koster menolak legalisasi tajen secara eksplisit, sebagian kalangan menilai bahwa jalan tengah bisa diambil melalui regulasi ketat. Artinya, praktik tajen tetap boleh dilakukan dalam konteks budaya dan ritual, namun diatur dengan mekanisme hukum yang jelas dan pengawasan yang kuat.
Regulasi ini bisa mencakup pembatasan lokasi, pelarangan unsur taruhan uang, hingga melibatkan lembaga adat dan keagamaan dalam proses pengawasan. Dengan begitu, nilai budaya bisa tetap terjaga tanpa merusak moralitas masyarakat.
Namun, tantangannya tidak kecil. Pemerintah harus mampu memilah mana yang murni budaya dan mana yang sudah menyimpang menjadi bentuk perjudian. Tanpa perangkat hukum yang tajam dan aparat yang jujur, kebijakan semacam ini bisa jadi blunder yang berbalik arah.
Suara Masyarakat Terbelah
Di lapangan, respons masyarakat Bali terhadap wacana ini sangat beragam. Sebagian besar tokoh adat menyuarakan perlunya menjaga nilai budaya, namun tetap dengan batasan tegas. Sementara itu, banyak warga biasa, khususnya generasi muda, mulai menunjukkan keprihatinan terhadap dampak negatif tajen, terutama dalam bentuk judi.
Media sosial dipenuhi perdebatan antara yang mendukung legalisasi demi pelestarian budaya dan yang menolaknya karena khawatir dengan efek buruknya terhadap tatanan sosial. Survei kecil-kecilan yang dilakukan beberapa lembaga lokal menunjukkan mayoritas masyarakat lebih memilih regulasi ketat daripada legalisasi penuh.
Kesimpulan
Wacana legalisasi tajen di Bali memperlihatkan betapa rumitnya relasi antara pelestarian budaya dan tanggung jawab sosial. Di satu sisi, sabung ayam memang bagian dari warisan budaya Bali yang telah hidup sejak ratusan tahun lalu. Namun di sisi lain, praktik tersebut juga membuka celah bagi perjudian dan penyimpangan sosial jika tidak dikendalikan dengan tegas.
Sikap Gubernur Koster yang menolak legalisasi adalah bentuk kehati-hatian yang patut diapresiasi. Sementara itu, aspirasi dari tokoh seperti Ajus Linggih menunjukkan kekhawatiran terhadap kekosongan hukum yang rawan disalahgunakan oleh oknum tertentu. Situasi ini menuntut adanya dialog terbuka antara berbagai pihak untuk mencari solusi terbaik.
Diperlukan pula kajian akademis mendalam agar kebijakan yang diambil mampu menyeimbangkan pelestarian budaya dengan menjaga moral dan ketertiban masyarakat Bali. Ikuti terus Info Kejadian Bali agar Anda tidak ketinggalan informasi menarik lainnya yang terupdate setiap hari.
Sumber Informasi Gambar:
- Gambar Pertama dari www.detik.com
- Gambar Kedua dari www.papajiyam.com