Gubernur Bali, Wayan Koster, mengakui bahwa sistem OSS telah menjadi salah satu penyebab utama banyaknya pelanggaran tata ruang dan perizinan di Bali.

Koster menilai bahwa kemudahan penerbitan izin usaha melalui OSS melemahkan pengawasan tata ruang di daerah. Dibawah ini Anda bisa melihat berbagai informasi menarik lainnya tentang seputaran Info Kejadian Bali.
Sentralisasi Izin dan Dampaknya Pada Kearifan Lokal
Fraksi Partai Golkar di DPRD Provinsi Bali menyoroti sentralisasi perizinan melalui OSS yang dinilai tidak memperhatikan kondisi dan kearifan lokal. Proses perizinan ini minim verifikasi lapangan, sehingga memicu pelanggaran tata ruang. Meskipun pemerintah daerah cepat menanggapi bencana banjir, pengendalian pembangunan liar di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) masih lemah.
Banjir yang terjadi menjadi peringatan penting bagi pemerintah daerah, terutama karena sudah ada regulasi yang mengatur pengelolaan DAS, seperti Perda No. 11 Tahun 2009, Pergub No. 24 Tahun 2020, dan Perda No. 2 Tahun 2023. Namun, pelanggaran tata ruang tetap sering terjadi tanpa penindakan tegas. Hal ini menunjukkan lemahnya implementasi hukum di tingkat daerah meskipun perangkat hukum sudah lengkap.
Fraksi Golkar menekankan perlunya pengawasan yang lebih ketat di tingkat lokal. Kearifan lokal dan kondisi spesifik wilayah harus menjadi pertimbangan dalam setiap izin. Tanpa itu, sentralisasi justru berpotensi menimbulkan masalah lingkungan dan sosial yang lebih besar, termasuk risiko banjir yang berulang.
Celah Hukum Dalam OSS dan Isu Penguasaan Usaha Oleh Asing
Sistem OSS disebut membuka celah bagi warga negara asing (WNA) untuk menguasai usaha mikro dan kecil di Bali, padahal kategori ini seharusnya untuk pelaku lokal. Pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan penuh dalam verifikasi dan pengawasan izin, karena seluruh proses perizinan berada di bawah kendali pusat. Praktik nominee atau “pinjam nama” WNI pun masih marak.
Wakil Gubernur Bali I Nyoman Giri Prasta menyoroti bahwa OSS yang mempermudah penerbitan izin tanpa mempertimbangkan rencana tata ruang menyulitkan pemerintah kabupaten dan kota. Tumpang tindih regulasi antara kebijakan pusat dan daerah juga memperlemah pengendalian pembangunan. Akibatnya, pemodal asing dengan modal relatif kecil dapat membangun usaha dengan jalur hijau, memicu kekhawatiran bagi UMKM lokal.
Situasi ini menimbulkan risiko serius terhadap ekonomi lokal. Ruang usaha UMKM yang seharusnya dimiliki warga Bali berpotensi tergeser. Ketiadaan kewenangan penuh di daerah membuat pengawasan menjadi tidak efektif, sehingga pelanggaran tata ruang dan penyalahgunaan izin dapat terus terjadi.
Baca Juga: Beasiswa Rp2 Miliar Denpasar, Jaring 473 Siswa Miskin Agar Tak Putus Sekolah
Reformasi OSS dan Kewenangan Daerah yang Mendesak

Gubernur Koster menekankan perlunya reformasi OSS-RBA karena izin usaha dapat keluar meski melanggar tata ruang. Penerapan OSS yang sentralistik mengabaikan kewenangan daerah, sehingga mendorong pelanggaran dan membuka celah penyalahgunaan. Pemerintah provinsi pun sudah menyampaikan laporan konkret kepada pusat mengenai dampak OSS terhadap tata ruang dan lahan produktif.
Salah satu usulan Koster adalah memberi hak koreksi bagi daerah terhadap izin usaha yang melanggar tata ruang atau kapasitas lingkungan. Ia juga mengusulkan agar syarat penanaman modal asing diperketat, dengan menaikkan batas minimal investasi dari Rp 10 miliar menjadi Rp 100–200 miliar, guna melindungi Bali dan memastikan pemerataan ekonomi bagi masyarakat lokal.
Pemerintah daerah perlu memanfaatkan peluang reformasi OSS untuk memperkuat pengawasan. Dengan kolaborasi antara kabupaten, kota, dan provinsi, serta regulasi yang jelas, Bali dapat memastikan izin usaha tidak merusak lingkungan dan tetap berpihak pada kepentingan lokal.
Solusi dan Harapan Untuk Masa Depan Bali
Mengatasi masalah ini memerlukan perencanaan terpadu melibatkan semua pemangku kepentingan. Rencana tata ruang laut harus mempertimbangkan keberlanjutan, keseimbangan ekosistem, dan kebutuhan semua sektor. Hal ini penting agar pembangunan tetap sejalan dengan prinsip konservasi dan kepentingan masyarakat lokal.
Pengawasan daerah harus diperkuat melalui penerapan zona integritas dari desa hingga provinsi. Wakil Gubernur Giri Prasta menyarankan pengawasan tidak hanya berbasis sistem daring, tetapi juga manual sebagai kontrol tambahan, mencegah penyalahgunaan atau gangguan sistem digital.
Penegakan hukum terhadap pelanggaran tata ruang harus tegas. Dengan regulasi yang jelas, pengawasan efektif, dan keterlibatan masyarakat, Bali bisa memanfaatkan ruang laut secara berkelanjutan. Kolaborasi antar pemangku kepentingan dan prinsip konservasi menjadi kunci agar pembangunan selaras dengan kepentingan lokal dan lingkungan.
Simak berita update lainnya tentang Bali dan sekitarnya secara lengkap tentunya terpercaya hanya di Info Kejadian Bali.