Posted in

Aksi Kamisan Bali Menolak Usulan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

Aksi Kamisan merupakan gerakan damai yang dilakukan setiap hari Kamis oleh keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.

Aksi Kamisan Bali Menolak Usulan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

Gerakan ini pertama kali dimulai di Jakarta pada tahun 2007 sebagai bentuk protes sunyi, tanpa kekerasan, di depan Istana Negara.

Tujuannya adalah menuntut negara menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang hingga kini masih menggantung tanpa kepastian hukum.

Dibawah ini Anda bisa melihat berbagai informasi menarik lainnya seputaran Info Kejadian Bali.

Aksi Kamisan Bali dan Suasana Demonstrasi

Aksi Kamisan Bali berlangsung dalam suasana hening namun penuh makna. Para peserta, mengenakan pakaian serba hitam dan memegang payung hitam sebagai simbol duka kolektif, berdiri membentuk lingkaran diam.

Payung hitam menjadi simbol penolakan terhadap lupa, sebagai bentuk peringatan bahwa ada sejarah yang belum tuntas dan luka kolektif bangsa yang belum disembuhkan.

Di beberapa poster, terlihat tulisan, “Soeharto bukan Pahlawan,” “Tuntaskan Pelanggaran HAM,” dan “Sejarah Tidak Boleh Diputar Balik”.

Para peserta aksi berasal dari berbagai lapisan masyarakat: mahasiswa, akademisi, seniman, komunitas literasi, organisasi perempuan, hingga keluarga korban tragedi politik masa lalu.

Sebagian peserta membacakan puisi, sebagian lainnya menyampaikan pernyataan sikap secara tertulis, sementara sebagian lainnya hanya berdiri dalam diam. Diam tersebut bukan diam yang pasif, melainkan bentuk perlawanan moral terhadap ketidakadilan.

Aksi berlangsung secara damai dan tertib. Tidak ada pengeras suara besar ataupun orasi panjang yang penuh emosi. Aksi ini mengandalkan kekuatan pesan simbolik, kesadaran sejarah, dan solidaritas antar generasi.

Banyak anak muda Bali terlibat, menandakan bahwa ingatan sejarah masih hidup dan diwariskan dengan baik.

Alasan Penolakan Soeharto Menjadi Pahlawan Nasional

Para peserta Aksi Kamisan menegaskan bahwa penolakan mereka bukan didasari kebencian personal terhadap Soeharto, melainkan pada catatan sejarah dan fakta objektif pelanggaran HAM selama masa Orde Baru. Sejumlah kasus yang disebut dalam aksi tersebut antara lain:

Tragedi 1965–1966 yang menyebabkan ratusan ribu orang kehilangan nyawa dan jutaan lainnya ditahan tanpa proses hukum. Penembakan misterius (Petrus) pada awal 1980-an yang merenggut banyak nyawa warga sipil. Tragedi Tanjung Priok 1984 yang menewaskan puluhan warga.

Pembungkaman kebebasan pers dan pelanggaran hak berpendapat. Kasus penghilangan paksa aktivis prodemokrasi menjelang kejatuhan Orde Baru 1998.

Korupsi terstruktur dan sistemik selama masa berkuasa yang membuat Soeharto dijuluki The Most Corrupt Leader in History oleh Transparency International.

Aktivis Aksi Kamisan menilai bahwa memberikan gelar pahlawan kepada sosok yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa tersebut merupakan bentuk pengaburan sejarah dan pengkhianatan terhadap para korban.

Penghargaan negara harus diberikan kepada figur yang menjunjung nilai kemanusiaan, bukan yang mencederainya.

Baca Juga: Wali Kota Denpasar Tegaskan Komitmen Tingkatkan Kualitas Layanan Pendidikan

Aksi Kamisan Sebagai Ruang Pendidikan Sejarah

Aksi Kamisan Sebagai Ruang Pendidikan Sejarah

Selain sebagai aksi protes, Aksi Kamisan Bali berfungsi sebagai ruang pendidikan sejarah bagi masyarakat, terutama generasi muda yang tidak mengalami langsung peristiwa kelam masa lalu.

Banyak peserta memanfaatkan aksi ini sebagai diskusi terbuka tentang bagaimana kekuasaan dapat disalahgunakan, bagaimana demokrasi dapat dibungkam, dan bagaimana korban kekerasan negara sering disisihkan dalam narasi resmi.

Melalui Aksi Kamisan, para peserta mengingatkan bahwa sejarah tidak hanya milik penguasa atau pemerintah, tetapi juga milik rakyat.

Mereka menyerukan agar negara tidak hanya menilai tokoh berdasarkan pembangunan fisik seperti jalan, gedung, atau proyek infrastruktur, tetapi juga berdasarkan jejak kemanusiaan dan moralitas dalam kepemimpinan.

Bagi para aktivis, gelar pahlawan bukan hanya soal penghargaan, melainkan juga bentuk legitimasi moral dan politik.

Memberikan gelar tersebut kepada Soeharto berarti memberi sinyal bahwa negara mengesampingkan luka para korban, dan ini berpotensi menyebabkan trauma sejarah yang belum sembuh kembali terbuka.

Seruan Untuk Tidak Melupakan Sejarah

Aksi Kamisan Bali yang menolak usulan Soeharto menjadi Pahlawan Nasional adalah pengingat bahwa sejarah bangsa ini penuh lapisan, dan tidak semua luka telah diobati.

Memberikan gelar pahlawan kepada sosok yang terlibat dalam pelanggaran HAM berat bukan hanya mengaburkan fakta sejarah, tetapi juga menghilangkan martabat para korban dan keluarganya.

Aksi Kamisan menegaskan bahwa keberanian untuk mengingat adalah bentuk perjuangan. Sejarah tidak boleh disederhanakan atau ditulis ulang hanya demi kepentingan politik sesaat.

Pahlawan sejati adalah mereka yang mengedepankan kemanusiaan, keadilan, dan keberpihakan pada rakyat, bukan mereka yang meninggalkan luka yang belum terselesaikan.

Untuk informasi lengkap mengenai Bali, kalian bisa kunjungi Info Kejadian Bali, yang menjadi sumber berita terpercaya yang menyediakan update real-time dan laporan mendalam tentang kondisi di pulau ini.


Sumber Informasi Gambar:

  • Gambar Pertama dari www.detik.com
  • Gambar Kedua dari www.merdeka.com